Muslimat NU merupakan organisasi islam wanita di Indonesia dan sebagai
salah satu Badan Otonom Nahdlatul Ulama'
SEJARAH
Salah satu organisasi keagamaan terbesar di Indonesia
Nahdlatul Ulama (NU) yang lahir pada tanggal 31 Januari 1926 merupakan
organisasi yang pada mulanya hanya beranggotakan kaum laki-laki. Melihat
fenomena ini Ny. Djunaisih sebagai perintis organisasi Muslimat NU memiliki
gagasan bahwa, “Dalam agama Islam tidak hanya laki-laki saja yang harus dididik
berkenaan dengan ilmu agama melainkan perempuan juga harus dan wajib mendapat
didikan yang selaras dengan tuntutan dan kehendak agama Islam” (Afif 11). Gagasan
tersebut disampaikan dalam pidatonya dalam Kongres NU ke-13 di Menes Banten
tahun 1938 yang menjadi cikal bakal lahirnya Muslimat NU (Ma’shum dan Ali
Zawawi 110). Meskipun gerakan yang diprakarsai ini sarat dengan pengaruh
tradisi dan budaya patriarki namun kaum perempuan pada masa itu berhasil
bangkit dan menyuarakan pentingnya perempuan berorganisasi dan berperan aktif
tidak hanya di wilayah domestik.
Dalam momentum yang sama hadir pula Ny. Siti Syarah sebagai pembicara kedua
yang turut mendukung pendapat Ny.Djunaisih dalam isi pidatonya. Sehingga, kedua
tokoh tersebut memiliki peran besar terhadap berdirinya Muslimat NU pada
rentang waktu 1938-1952 yang sampai sekarang menjadi salah satu badan
otonom dalam tubuh organisasi NU. Organisasi Muslimat NU kemudian
memprakarsai lahirnya Fatayat NU sebagai organisasi pemudi Islam yang keduanya
memiliki hubungan seperti saudara kakak dan adik dengan segala suka dan duka
persaudaraan.
Tampilnya kedua perempuan dalam acara Kongres NU ke-13 di Menes, Banten ini didukung oleh keputusan fatwa Bahtsul Masa’il ad-Diniyah pada tahun 1935, bahwa seorang perempuan yang berdiri di tengah-tengah laki-laki lain itu haram hukumnya, kecuali jika bisa “sunyi” (terhindar) dari larangan agama Islam, seperti dapat menutup auratnya dan selamat dari segala fitnah, maka hukumnya boleh (jaiz). Hal ini karena suara perempuan tidak termasuk aurat, menurut pendapat yang ashhah. Keputusan tersebut berdasarkan landasan dari kitab Ittihaf al-saddah al-Muttaqin, Syarah al-Sittin, al Fawa al-Kubra al-Fiqhiyah (Asrori & Muntaha 157).
Muslimat NU pada mulanya bernama NOM (Nahdlatoel Oelama Moeslimat) yang kemudian menyelenggarakan rapat umum NOM pada Kongres NU ke-14 tahun 1939 di Magelang. Pada kesempatan ini dihadiri oleh enam perempuan NU dari sejumlah wakil daerah untuk menyampaikan gagasan-gagasannya. Mereka adalah Ny. Saodah dan Ny. Gan Antang keduanya dari Bandung, Ny. Badriyah dari Wonosobo, Ny. Sulimah dari Banyumas, Ny. Istiqomah dari Parakan dan Ny. Alfiyah dari Kroya Cilacap. Inti dari pidato yang disampaikan oleh perempuan-perempuan NU tersebut adalah diperlukan adanya pergaulan di dalam perkumpulan untuk mendukung tugas penting para perempuan, karena mereka memegang peran penting dalam mencerdaskan bangsa. Oleh sebab itu, diperlukan membentuk organisasi perempuan di dalam Organisasi Islam Tradisional tersebut (Aboebakar 615).
Selanjutnya pada Kongres NU ke-15 tahun 1940 di Surabaya diadakan rapat tertutup yang dipimpin oleh Ny. Djunaisih dan Siti Hasanah sebagai penulisnya. Perundingan tersebut menghasilkan keputusan: pengesahan NOM oleh NU, pengesaahan Anggaran Dasar NOM oleh Kongres NU, adanya Pengurus Besar NOM, menetapkan daftar pelajaran untuk tingkat Madrasah Banat, rencana menerbitkan majalah NOM, bertamasya keliling kota Surabaya pada hari Kamis 12 Desember 1940 (Zuhri 44-45). Rekam jejak perjalanan ini belum selesai karena pada Kongres NU ke-16 di Purwokerto tahun 1946 disahkan secara resmi lahirnya NOM dengan nama Nahdlatul Ulama Muslimat (NUM) sebagai organisasi perempuan di bawah naungan NU. Diterimanya NOM oleh PBNU ini tidak terlepas dari dukungan sebagian tokoh NU yang saat itu memiliki pemikiran bahwa sudah sampai pada tahap diperlukannya kehadiran perempuan dalam perjuangan dan organisasi, agar paham Ahlus Sunnah Wal Jama’ah sebagai paham keagamaan NU dapat diterima merata antara laki-laki dan perempuan (Afif 27).
Kemudian pada kongres NU ke-19 di Palembang tahun 1952, NUM menjadi badan otonom NU dan mengubah namanya menjadi Muslimat NU yang dikenal secara luas sampai saat ini (Zuhri 81). Muslimat NU merupakan organisasi yang berasas Islam dan berideologi menurut paham Ahlus Sunah Wal Jama’ah bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) didirikan oleh seluruh rakyat Indonesia. Latar belakang terbentuknya Muslimat NU ini tidak terlepas dari keadaan sosial, pendidikan, ekonomi dan politik masyarakat dalam menempatkan perempuan pada posisi yang serba tidak menguntungkan pada saat itu. Kedua tokoh perempuan progresif Ny. Djunaisih dan Ny. Siti Syarah inilah yang kemudian memperjuangkan hak-hak kaum perempuan agar memiliki kesempatan berpendidikan yang sama seperti laki-laki pada umumnya. Kaum perempuan tidak hanya terjebak dalam kesibukan-kesibukan pekerjaan domestik tetapi juga secara alamiah mereka memiliki ruang untuk mengembangkan potensi, bakat dan minat yang dimiliki di ranah yang lebih luas yakni publik.
Demi mewujudkan organisasi Muslimat NU sering sekali terjadi perdebatan yang alot diantara tokoh-tokoh NU (Natsir 22). Pasalnya ciri khas organisasi NU memang dikenal dengan ketradisionalannya yang sangat patriarkis dalam memperlakukan perempuan. Apalagi pada masa itu masih cukup dominan pandangan yang berlaku pada sebagian tokoh NU, khususnya para ulama yang menampik kehadiran perempuan di pentas organisasi karena alasan syar’i (Ma’sum & Zawawi 70). Sehingga, tidak bisa dipungkiri bahwa waktu yang dibutuhkan untuk melahirkan Muslimat NU benar-benar tidak singkat. Beberapa kiai yang telah dahulu memahami kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan seperti K.H Muhammad Dahlan yang memiliki andil besar mendukung kelahiran Muslimat NU memulai perannya sebagai seorang laki-laki yang turut memperjuangkan hak perempuan. Hal ini dibuktikan dengan dukungan terhadap istri Ny. Chadijah Dahlan menjadi ketua pertama pada NUM. Begitu juga dengan K.H Wahid Hasyim yang mendukung istrinya untuk berorganisasi dan mendapat jabatan kepengurusan di Muslimat NU.
Istilah konco wingking yang tersemat pada kaum perempuan saat itu justru menjadikan kaum perempuan tidak mendapatkan akses yang sama untuk aktif dalam kegiatan di luar rumah. Mereka hanya diarahkan berfokus pada kegiatan-kegiatan monoton setiap harinya sebagai ibu yang dipenuhi dengan kegiatan-kegiatan rumah tangga seperti memasak, mencuci pakaian, mengurus anak, membersihkan rumah, mengurus suami. Satu sisi kebanyakan kaum perempuan memang merasa nyaman dengan posisi sesuai konsep ‘ibuisme’ yang diterapkan oleh rezim Suharto ini. Mereka secara terang-terangan tidak menyadari bahwa hal demikian justru akan membawa banyak kemunduran jika tidak diimbangi dengan proses belajar secara terus-menerus untuk mengembangkan keilmuan yang telah mereka miliki (Dahlan 21).
Sebagai akibatnya, kaum perempuan pada saat itu memang sangat menggantungkan segala aspek kehidupannya pada kaum laki-laki. Dalam menentukan suara pun kaum perempuan tidak memperoleh hak untuk berpendapat meskipun di dalam rumah sendiri. Semua keputusan hanya berhak diputuskan oleh kepala keluarga, suami yang memegang hak penuh dalam menentukan urusan-urusan berkeluarga. Apakah suami dalam hal ini termasuk dalam kategori amanah atau tidak hal ini menjadi urusan nomor sekian, karena pada dasarnya istri akan selalu ditempatkan mengikuti suami dari belakang istilah dalam bahasa Jawa: suwargo nunut neroko katut. Ironis, bagaimana bisa kaum perempuan akan berkembang lebih mandiri jika mereka terkungkung dalam budaya patriarki yang justru mereka anggap sebagai hal yang menyenangkan karena merasa hidupnya sudah ‘ditanggung’ sepenuhnya oleh kaum laki-laki.
Selain itu, dalam aspek mendapatkan hak berpendidikan kaum perempuan tidak diprioritaskan. Apalagi jika memang mereka terlahir dan besar dalam keluarga menengah ke bawah. Bisa dipastikan bahwa anak laki-laki akan mendapatkan lebih banyak dukungan mendapatkan kesempatan berpendidikan karena dianggap lebih mampu dalam mengenyam pendidikan baik formal maupaun nonformal. Mereka diarahkan untuk menjadi pemimpin masa depan sedangkan akses kaum perempuan dipangkas begitu saja untuk dikondisikan menjadi orang rumahan yang tidak tahu dunia luar. Kehidupan kaum perempuan hanya sebatas dapur, kasur dan sumur. Dalam sejarahnya, pesantren yang pertama kali menerima santri-santri perempuan adalah Mamba’ul Ma’arif di Denanyar Jombang pada tahun 1921 yang sebelumnya hanya menerima santri-santri laki-laki pada tahun 1917 dan menyelenggarakan pendidikan bagi laki-laki (Muafiah 2).
Keadaan-keadaan perempuan seperti ini kemudian juga diperparah dengan beberapa hal pelik yang dialami oleh kaum perempuan. Pernikahan R.A Kartini anak dari seorang bangsawan Bupati Rembang dalam bukunya Habis Gelap Terbitlah Terang. Dia dipaksa kawin dengan suami yang telah beristri dan dilarang melanjutkan sekolahnya ke Belanda (Muhadjir Darwin 284). Dalam sumber literasi lain Sukarno pada karyanya Sarinah ‘mendewi tololkan’ istrinya sebagai mutiara yang selalu ditolong sampai mati dan tidak pernah menjadi akil baligh (Sukarno 9). Kompleksitas masalah yang dialami kaum perempuan tidak hanya dirasakan oleh kaum menengah ke bawah. Dua tokoh tersebut secara jelas menggambarkan bagaimana posisi kaum perempuan yang sangat tidak bisa terbebas dari kontrol dan kekuasaan laki-laki dalam segala aspek kehidupan mereka meskipun mereka hidup di keluarga bangsawan.
Selain alasan-alasan dalam bidang sosial dan ekonomi yang mengonstruksi pola pikir masyarakat terhadap kaum perempuan, faktor kondisi politik saat itu sangat menghantui pergerakan rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan. Bahkan dengan adanya pengaruh hegemoni kepentingan Orba dalam hal menyambut pesta perpolitikan tahun 1955 arah pejuangan rakyat Indonesia saat itu mengalami perubahan bentuk perjuangan pada pembentukan organisasi. Mereka menggunakan bentuk organisasi-organisasi untuk bergerak secara masif melalui basis massa. Kondisi ini disetujui dengan munculnya organisasi Muslimat NU yang juga memiliki peran dalam mendukung “Resolusi Jihad” yang digalakkan NU sebagai upaya mempertahankan kemerdekaan RI untuk menopang perpolitikan NU sendiri.
Kondisi perempuan dalam tubuh organisasi Nahdlatul Ulama (NU) telah termanifestasi dalam pergerakan perempuan yang diwadahi oleh Muslimat NU. Sepanjang proses kelahiran organisasi ini telah menunjukkan bahwa latar belakang sosial, ekonomi, pendidikan dan politik dalam masyarakat telah memberi pengaruh yang sangat besar terhadap perubahan arah perjuangan kaum perempuan. Apalagi dalam proses mewujudkan badan otonom Muslimat NU dalam organisasi NU tidak semerta-merta hanya terdapat campur tangan kaum perempuan. Namun, peran para kiai yang menunjukkan bahwa keadilan dan kesetaraan gender antara hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan hendaknya memang akan terwujud dengan kerjasama diantara kedua belah pihak baik laki-laki maupun perempuan.
Tampilnya kedua perempuan dalam acara Kongres NU ke-13 di Menes, Banten ini didukung oleh keputusan fatwa Bahtsul Masa’il ad-Diniyah pada tahun 1935, bahwa seorang perempuan yang berdiri di tengah-tengah laki-laki lain itu haram hukumnya, kecuali jika bisa “sunyi” (terhindar) dari larangan agama Islam, seperti dapat menutup auratnya dan selamat dari segala fitnah, maka hukumnya boleh (jaiz). Hal ini karena suara perempuan tidak termasuk aurat, menurut pendapat yang ashhah. Keputusan tersebut berdasarkan landasan dari kitab Ittihaf al-saddah al-Muttaqin, Syarah al-Sittin, al Fawa al-Kubra al-Fiqhiyah (Asrori & Muntaha 157).
Muslimat NU pada mulanya bernama NOM (Nahdlatoel Oelama Moeslimat) yang kemudian menyelenggarakan rapat umum NOM pada Kongres NU ke-14 tahun 1939 di Magelang. Pada kesempatan ini dihadiri oleh enam perempuan NU dari sejumlah wakil daerah untuk menyampaikan gagasan-gagasannya. Mereka adalah Ny. Saodah dan Ny. Gan Antang keduanya dari Bandung, Ny. Badriyah dari Wonosobo, Ny. Sulimah dari Banyumas, Ny. Istiqomah dari Parakan dan Ny. Alfiyah dari Kroya Cilacap. Inti dari pidato yang disampaikan oleh perempuan-perempuan NU tersebut adalah diperlukan adanya pergaulan di dalam perkumpulan untuk mendukung tugas penting para perempuan, karena mereka memegang peran penting dalam mencerdaskan bangsa. Oleh sebab itu, diperlukan membentuk organisasi perempuan di dalam Organisasi Islam Tradisional tersebut (Aboebakar 615).
Selanjutnya pada Kongres NU ke-15 tahun 1940 di Surabaya diadakan rapat tertutup yang dipimpin oleh Ny. Djunaisih dan Siti Hasanah sebagai penulisnya. Perundingan tersebut menghasilkan keputusan: pengesahan NOM oleh NU, pengesaahan Anggaran Dasar NOM oleh Kongres NU, adanya Pengurus Besar NOM, menetapkan daftar pelajaran untuk tingkat Madrasah Banat, rencana menerbitkan majalah NOM, bertamasya keliling kota Surabaya pada hari Kamis 12 Desember 1940 (Zuhri 44-45). Rekam jejak perjalanan ini belum selesai karena pada Kongres NU ke-16 di Purwokerto tahun 1946 disahkan secara resmi lahirnya NOM dengan nama Nahdlatul Ulama Muslimat (NUM) sebagai organisasi perempuan di bawah naungan NU. Diterimanya NOM oleh PBNU ini tidak terlepas dari dukungan sebagian tokoh NU yang saat itu memiliki pemikiran bahwa sudah sampai pada tahap diperlukannya kehadiran perempuan dalam perjuangan dan organisasi, agar paham Ahlus Sunnah Wal Jama’ah sebagai paham keagamaan NU dapat diterima merata antara laki-laki dan perempuan (Afif 27).
Kemudian pada kongres NU ke-19 di Palembang tahun 1952, NUM menjadi badan otonom NU dan mengubah namanya menjadi Muslimat NU yang dikenal secara luas sampai saat ini (Zuhri 81). Muslimat NU merupakan organisasi yang berasas Islam dan berideologi menurut paham Ahlus Sunah Wal Jama’ah bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) didirikan oleh seluruh rakyat Indonesia. Latar belakang terbentuknya Muslimat NU ini tidak terlepas dari keadaan sosial, pendidikan, ekonomi dan politik masyarakat dalam menempatkan perempuan pada posisi yang serba tidak menguntungkan pada saat itu. Kedua tokoh perempuan progresif Ny. Djunaisih dan Ny. Siti Syarah inilah yang kemudian memperjuangkan hak-hak kaum perempuan agar memiliki kesempatan berpendidikan yang sama seperti laki-laki pada umumnya. Kaum perempuan tidak hanya terjebak dalam kesibukan-kesibukan pekerjaan domestik tetapi juga secara alamiah mereka memiliki ruang untuk mengembangkan potensi, bakat dan minat yang dimiliki di ranah yang lebih luas yakni publik.
Demi mewujudkan organisasi Muslimat NU sering sekali terjadi perdebatan yang alot diantara tokoh-tokoh NU (Natsir 22). Pasalnya ciri khas organisasi NU memang dikenal dengan ketradisionalannya yang sangat patriarkis dalam memperlakukan perempuan. Apalagi pada masa itu masih cukup dominan pandangan yang berlaku pada sebagian tokoh NU, khususnya para ulama yang menampik kehadiran perempuan di pentas organisasi karena alasan syar’i (Ma’sum & Zawawi 70). Sehingga, tidak bisa dipungkiri bahwa waktu yang dibutuhkan untuk melahirkan Muslimat NU benar-benar tidak singkat. Beberapa kiai yang telah dahulu memahami kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan seperti K.H Muhammad Dahlan yang memiliki andil besar mendukung kelahiran Muslimat NU memulai perannya sebagai seorang laki-laki yang turut memperjuangkan hak perempuan. Hal ini dibuktikan dengan dukungan terhadap istri Ny. Chadijah Dahlan menjadi ketua pertama pada NUM. Begitu juga dengan K.H Wahid Hasyim yang mendukung istrinya untuk berorganisasi dan mendapat jabatan kepengurusan di Muslimat NU.
Istilah konco wingking yang tersemat pada kaum perempuan saat itu justru menjadikan kaum perempuan tidak mendapatkan akses yang sama untuk aktif dalam kegiatan di luar rumah. Mereka hanya diarahkan berfokus pada kegiatan-kegiatan monoton setiap harinya sebagai ibu yang dipenuhi dengan kegiatan-kegiatan rumah tangga seperti memasak, mencuci pakaian, mengurus anak, membersihkan rumah, mengurus suami. Satu sisi kebanyakan kaum perempuan memang merasa nyaman dengan posisi sesuai konsep ‘ibuisme’ yang diterapkan oleh rezim Suharto ini. Mereka secara terang-terangan tidak menyadari bahwa hal demikian justru akan membawa banyak kemunduran jika tidak diimbangi dengan proses belajar secara terus-menerus untuk mengembangkan keilmuan yang telah mereka miliki (Dahlan 21).
Sebagai akibatnya, kaum perempuan pada saat itu memang sangat menggantungkan segala aspek kehidupannya pada kaum laki-laki. Dalam menentukan suara pun kaum perempuan tidak memperoleh hak untuk berpendapat meskipun di dalam rumah sendiri. Semua keputusan hanya berhak diputuskan oleh kepala keluarga, suami yang memegang hak penuh dalam menentukan urusan-urusan berkeluarga. Apakah suami dalam hal ini termasuk dalam kategori amanah atau tidak hal ini menjadi urusan nomor sekian, karena pada dasarnya istri akan selalu ditempatkan mengikuti suami dari belakang istilah dalam bahasa Jawa: suwargo nunut neroko katut. Ironis, bagaimana bisa kaum perempuan akan berkembang lebih mandiri jika mereka terkungkung dalam budaya patriarki yang justru mereka anggap sebagai hal yang menyenangkan karena merasa hidupnya sudah ‘ditanggung’ sepenuhnya oleh kaum laki-laki.
Selain itu, dalam aspek mendapatkan hak berpendidikan kaum perempuan tidak diprioritaskan. Apalagi jika memang mereka terlahir dan besar dalam keluarga menengah ke bawah. Bisa dipastikan bahwa anak laki-laki akan mendapatkan lebih banyak dukungan mendapatkan kesempatan berpendidikan karena dianggap lebih mampu dalam mengenyam pendidikan baik formal maupaun nonformal. Mereka diarahkan untuk menjadi pemimpin masa depan sedangkan akses kaum perempuan dipangkas begitu saja untuk dikondisikan menjadi orang rumahan yang tidak tahu dunia luar. Kehidupan kaum perempuan hanya sebatas dapur, kasur dan sumur. Dalam sejarahnya, pesantren yang pertama kali menerima santri-santri perempuan adalah Mamba’ul Ma’arif di Denanyar Jombang pada tahun 1921 yang sebelumnya hanya menerima santri-santri laki-laki pada tahun 1917 dan menyelenggarakan pendidikan bagi laki-laki (Muafiah 2).
Keadaan-keadaan perempuan seperti ini kemudian juga diperparah dengan beberapa hal pelik yang dialami oleh kaum perempuan. Pernikahan R.A Kartini anak dari seorang bangsawan Bupati Rembang dalam bukunya Habis Gelap Terbitlah Terang. Dia dipaksa kawin dengan suami yang telah beristri dan dilarang melanjutkan sekolahnya ke Belanda (Muhadjir Darwin 284). Dalam sumber literasi lain Sukarno pada karyanya Sarinah ‘mendewi tololkan’ istrinya sebagai mutiara yang selalu ditolong sampai mati dan tidak pernah menjadi akil baligh (Sukarno 9). Kompleksitas masalah yang dialami kaum perempuan tidak hanya dirasakan oleh kaum menengah ke bawah. Dua tokoh tersebut secara jelas menggambarkan bagaimana posisi kaum perempuan yang sangat tidak bisa terbebas dari kontrol dan kekuasaan laki-laki dalam segala aspek kehidupan mereka meskipun mereka hidup di keluarga bangsawan.
Selain alasan-alasan dalam bidang sosial dan ekonomi yang mengonstruksi pola pikir masyarakat terhadap kaum perempuan, faktor kondisi politik saat itu sangat menghantui pergerakan rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan. Bahkan dengan adanya pengaruh hegemoni kepentingan Orba dalam hal menyambut pesta perpolitikan tahun 1955 arah pejuangan rakyat Indonesia saat itu mengalami perubahan bentuk perjuangan pada pembentukan organisasi. Mereka menggunakan bentuk organisasi-organisasi untuk bergerak secara masif melalui basis massa. Kondisi ini disetujui dengan munculnya organisasi Muslimat NU yang juga memiliki peran dalam mendukung “Resolusi Jihad” yang digalakkan NU sebagai upaya mempertahankan kemerdekaan RI untuk menopang perpolitikan NU sendiri.
Kondisi perempuan dalam tubuh organisasi Nahdlatul Ulama (NU) telah termanifestasi dalam pergerakan perempuan yang diwadahi oleh Muslimat NU. Sepanjang proses kelahiran organisasi ini telah menunjukkan bahwa latar belakang sosial, ekonomi, pendidikan dan politik dalam masyarakat telah memberi pengaruh yang sangat besar terhadap perubahan arah perjuangan kaum perempuan. Apalagi dalam proses mewujudkan badan otonom Muslimat NU dalam organisasi NU tidak semerta-merta hanya terdapat campur tangan kaum perempuan. Namun, peran para kiai yang menunjukkan bahwa keadilan dan kesetaraan gender antara hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan hendaknya memang akan terwujud dengan kerjasama diantara kedua belah pihak baik laki-laki maupun perempuan.
ARTI LAMBANG MUSLIMAT
Arti lambang
(bendera) Muslimat NU tidak berbedah jauh dengan arti lambang (bendera) NU,
yaitu sebagai berikut:
Arti Lambang:Bola dunia terletak ditengah-tengah berarti
tempat kediaman untuk mengabdi dan beramal guna mencapai kebahagian dunia
dan akhirat.
Tali yang mengikat berarti agama Islam sebagai pengikat kehidupan manusia,
untuk mengingatkan agar selalu tolong menolong terhadap sesama dan meningkatkan
taqwa kepada Allah SWT.
Lima buah bintang terletak diatas, yang terbesar dipuncak berarti :
Sunnah Rasulullah SAW yang diikuti dengan setia oleh empat sahabat besar : Abu
Bakar, Umar, Utsman dan Ali Radhiyallah’anhum.
Arti seluruh bintang yang berjumlah sembilan buah yaitu : Walisongo atau Wali
Sembilan yang berarti dalam berdakwah meneladani tata cara Wali Songo, yakni
dengan cara damai dan bijaksana tanpa kekerasan.
Arti Warna : Putih
melambangkan ketulusan dan keihlasan.
Hijau melambangkan kesejukan dan kedamaian. ·
Tulisan Nahdlatul Ulama berarti : Muslimat NU bagian yang senantiasa meneruskan
dan mencerminkan perjuangan ulama.
VISI dan MISI
VISI :
· Terwujudnya masyarakat sejahtera yang dijiwai ajaran Islam
Ahlusunnah wal Jamaah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang
berkemakmuran dan berkeadilan yang
diridhai Allah Swt.
MISI :
· Mewujudkan
masyarakat Indonesia, khususnya perempuan, yang sadar beragama,
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
· Mewujudkan masyarakat Indonesia, khususnya
perempuan, yang berkualitas, mandiri dan bertakwa kepada Allah Swt.
· Mewujudkan masyarakat Indonesia,
khususnya perempuan, yang sadar akan kewajiban dan haknya menurut ajaran Islam
baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat.
· Melaksanakan tujuan Jam’iyyah Nahdlatul Ulama
(NU) sehingga terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang merata dan diridhai
Allah Swt.
Mars MUSLIMAT NU
Nahdlatul Ulama dan setia
Al-Quran, Hadits, Ijma’ dan Qiyas
Menjadi pedoman utama
Demi agama, nusa, dan bangsa
Negara damai bahagia
Majulah kaum ibu muslimat
Pengemban, pembawa amanat
Pendidik, pembina bunga bangsa
Menunaikan tugas mulia
Berilmu, beramal, dan berbakti
Bertaqwa pada Ilahi
Marilah hai kaum ibu
Bimbinglah putra-putrimu
Iman teguh, bijaksana
Muslimat Indonesia
Mars MUSLIMAT NU
Lirik Lagu Mars Muslimat
Marilah kaum ibu muslimatNahdlatul Ulama dan setia
Al-Quran, Hadits, Ijma’ dan Qiyas
Menjadi pedoman utama
Demi agama, nusa, dan bangsa
Negara damai bahagia
Majulah kaum ibu muslimat
Pengemban, pembawa amanat
Pendidik, pembina bunga bangsa
Menunaikan tugas mulia
Berilmu, beramal, dan berbakti
Bertaqwa pada Ilahi
Marilah hai kaum ibu
Bimbinglah putra-putrimu
Iman teguh, bijaksana
Muslimat Indonesia
sumber :
0 komentar:
Posting Komentar