A.
Pengertian
Ahlusssunnah Wal Jamaah
Aswaja versi bahasa terdiri dari tiga kata, Ahlu, Al-Sunnah, dan Al-Jama’ah. Kata Ahlu diartikan sebagai keluarga, komunitas,
atau pengikut. Kata Al-Sunnah diartikan sebagai jalan atau karakter.
Sedangkan kata Al-Jamaah diartikan sebagai perkumpulan. Arti Sunnah
secara istilah adalah segala sesuatu yang diajarkan Rasulullah SAW., baik
berupa ucapan, tindakan, maupun ketetapan. Sedangkan Al-Jamaah bermakna
sesuatu yang telah disepakati komunitas sahabat Nabi pada masa Rasulullah SAW.
dan pada era pemerintahan Khulafah Al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman,
dan Ali). Dengan demikian Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah komunitas orang-orang yang selalu berpedoman
kepada sunnah Nabi Muhammad SAW. dan jalan para sahabat beliau, baik dilihat
dari aspek akidah, agama, amal-amal lahiriyah, atau akhlak hati. Jama’ah mengandung beberapa pengertian, yaitu: kaum ulama atau kelompok
intelektual; golongan yang terkumpul dalam suatu pemerintahan yang dipimpin
oleh seorang amir; golongan yang di dalamnya terkumpul orang-orang yang
memiliki integritas moral atau akhlak, ketaatan dan keimanan yang kuat;
golongan mayoritas kaum muslimin; dan sekelompok sahabat Nabi Muhammad SAW.
Menurut Imam
Asy’ari, Ahlusssunnah
Wal Jamaah adalah
golongan yang berpegang teguh kepada al-Qur’an, hadis, dan apa yang
diriwayatkan sahabat, tabi’in, imam-imam hadis, dan apa yang disampaikan oleh
Abu Abdillah Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal.
Menurut KH. M.
Hasyim Asy’ari,
Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah golongan yang berpegang teguh kepada sunnah Nabi,
para sahabat, dan mengikuti warisan para wali dan ulama. Secara spesifik, Ahlusssunnah Wal Jamaah yang
berkembang di Jawa adalah mereka yang dalam fikih mengikuti Imam Syafi’i, dalam
akidah mengikuti Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari, dan dalam tasawuf mengikuti Imam
al-Ghazali dan Imam Abu al-Hasan al-Syadzili.[1] Menurut Muhammad Khalifah al-Tamimy, Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah para
sahabat, tabiin, tabiit tabi’in dan siapa saja yang berjalan menurut pendirian
imam-imam yang memberi petunjuk dan orang-orang yang mengikutinya dari seluruh
umat semuanya.
Definisi di
atas meneguhkan kekayaan intelektual dan peradaban yang dimiliki Ahlusssunnah Wal Jamaah, karena tidak
hanya bergantung kepada al-Qur’an dan hadits, tapi juga mengapresiasi dan
mengakomodasi warisan pemikiran dan peradaban dari para sahabat dan orang-orang
salih yang sesuai dengan ajaran-ajaran Nabi. Terpaku dengan al-Qur’an dan hadis
dengan membiarkan sejarah para sahabat dan orang-orang saleh adalah bentuk
kesombongan, karena merekalah generasi yang paling otentik dan orisinal yang
lebih mengetahui bagaimana cara memahami, mengamalkan dan menerjemahkan ajaran
Rasul dalam perilaku setiap hari, baik secara individu, sosial, maupun
kenegaraan. Berpegang kepada al-Qur’an dan hadis ansich, bisa
mengakibatkan hilangnya esensi (ruh) agama, karena akan terjebak pada
aliran dhahiriyah (tekstualisme) yang mudah menuduh bid’ah kepada
komunitas yang dijamin masuk surga, seperti khalifah empat.
B. Ahlusssunnah
Wal Jamaah dalam konteks Indonesia
Di Indonesia,
yang paling dominan adalah mengikuti Imam Asy’ari dalam aspek aqîdah, Imam
Syâfi’i dalam aspek fiqh, dan Imam Ghazâli dalam aspek tasawuf. Karya-karya mereka dikaji di pesantren, madrasah, majlis
ta’lim, masjid, mushalla, dan lain-lain. Imam Asy’ari terkenal dengan
kemampuannya menggabungkan dimensi rasionalitas Mu’tazilah (karena lama menjadi
pengikut Mu’tazilah) dan tradisionalitas Jabariyah (fatalistik). Teori kasb (upaya/usaha)
adalah buktinya. Teori ini dimunculkan sebagai mediasi antara kaum rasionalis
dan tradisionalis, bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk berusaha, namun
hasil akhirnya berada dalam kekuasaan Allah.
Imam Syâfi’i
terkenal dengan kemampuannya menggabungkan rasionalitas ahlu al-ra’yi
(pengikut Imam Hanafi di Irak) dan tradisionalitas ahlu al-hadîs
(pengikut Imam Mâlik di Madinah). Konsep qiyâs (analogi) dan istiqrâ’
(penelitian induktif) dalam menjawab masalah-masalah aktual adalah
pemikiran cemerlang Imam Syâfi’i yang menggemparkan jagat intelektualitas pada
masa itu. Sedangkan Imam Ghazâli terkenal
dengan kemampuannya menggabungkan rasionalitas filosof, formalitas ahli fiqh,
dan esoteritas kaum sufi. Ihyâ’ Ulûmiddîn adalah master piece
Al-Ghazali yang mengandung kedalaman kajian aqîdah, filsafat, fiqh, tasawuf,
sosial dan politik dalam satu kesatuan yang holistik. Tasawuf falsafi dan
amali digabungkan dalam satu pemikiran dan tindakan yang membawa
perubahan positif bagi masa depan dunia dan akhirat.
C.
Prinsip-prinsip
AhlussunnahWal Jamaah di sepanjangsejarah dan perkembangannya
Dalam
sejarah perkembangannya Ahlussunnah Wal Jamaah selalu dinamis dalam menjawab
perkembangan zaman tetapi tetap memegang prinsip dalam mengamalkan ajarannya.
Diantara prinsip Ahlussunnah
Wal Jamaah di dalam sejarah perkembangannya di berbagai
aspek kehidupan meliputi
Aqidah, pengambilan hukum (Syariah), tasawuf/akhlak dan bidang sosial-politik
dengan penjabaran sebagai berikut:
1. Bidang Aqidah
Aswaja
menekankan bahwa pilar utama ke-Imanan manusia adalah Tauhid, sebuah keyakinan
yang teguh dan murni yang ada dalam hati setiap Muslim bahwa Allah-lah yang
Menciptakan, Memelihara dan Mematikan kehidupan semesta alam. Ia Esa, tidak
terbilang dan tidak memiliki sekutu.
Pilar yang
kedua adalah Nubuwwat, yaitu dengan meyakini bahwa Allah telah
menurunkan wahyu kepada para Nabi dan Rosul sebagai utusannya. Sebuah wahyu
yang dijadikan sebagai petunjuk dan juga acuan ummat manusia dalam menjalani
kehidupan menuju jalan kebahagiaan dunia dan akhirat, serta jalan yang diridhai
oleh Allah SWT. Dalam doktrin Nubuwwat ini, ummat manusia harus meyakini dengan
sepebuhnya bahwa Muhammad SAW
adalah utusan Allah SWT, yang membawa risalah (wahyu) untuk umat
manusia. Dia adalah
Rasul terakhir, yang harus diikuti oleh setiap manusia.
Pilar yang
ketiga adalah Al-Ma’ad, sebuah keyakinan bahwa nantinya manusia akan dibangkitkan
dari kubur pada hari kiamat dan setiap manusia akan mendapat imbalan sesuai
amal dan perbuatannya (yaumul jaza’). Dan mereka semua akan dihitung (hisab)
seluruh amal perbuatan mereka selama hidup di dunia. Mereka yang banyak beramal
baik akan masuk surga dan mereka yang banyak beramal buruk akan masuk neraka.
2.
Bidang
Istinbath Al-Hukm (Pengambilan Hukum Syari’ah)
Hampir seluruh kalangan Sunni menggunakan empat
sumber hukum yaitu:
a)
Al-Qur’an
Al-Qur’an sebagai sumber utama dalam pengambilan hukum (istinbath
al-hukm) tidak dibantah oleh semua madzhab fiqh.Sebagai sumber hukum naqli
posisinya tidak diragukan.Al-Qur’an merupakan sumber hukum tertinggi dalam
Islam.
b)
As-Sunnah
As-Sunnah
meliputi al-Hadist dan segala tindak dan perilaku Rasul SAW, sebagaimana
diriwayatkan oleh para Shabat dan Tabi’in. Penempatannya ialah setelah proses istinbath
al-hukm tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, atau digunakan sebagai komplemen
(pelengkap) dari apa yang telah dinyatakan dalam Al-Qur’an.
c)
Ijma’
Menurut Abu
Hasan Ali Ibn Ali Ibn Muhammad Al-Amidi, Ijma’ adalah Kesepakatan
kelompok legislatif (ahl al-halli wa al-aqdi) dan ummat Muhammad pada suatu
masa terhadap suatu hukum dari suatu kasus. Atau kesepakatan orang-orang
mukallaf dari ummat Muhammada pada suatu masa terhadap suatu hukum dari suatu
kasus. Dalam
Al-Qur’an dasar Ijma’ terdapat dalam QS An-Nisa’, 4: Dan QS Al-Baqarah,
2: 143.
d)
Qiyas
Qiyas, sebagai
sumber hukum Islam, merupakan salah satu hasil ijtihad para Ulama.Qiyas
yaitu mempertemukan sesuatu yang tak ada nash hukumnya dengan hal lain yang ada
nash hukumnya karena ada persamaan ‘illat hukum. Qiyas sangat
dianjurkan untuk digunakan oleh Imam Syafi’i.
3.
Bidang Tasawuf
Imam Abu Hamid
Al-Tusi Al-Ghazali menjelaskan “Tasawuf adalah menyucikan hati dari apa saja
selain Allah. kaum sufi adalah para pencari di Jalan Allah, dan perilaku mereka
adalah perilaku yang terbaik, jalan mereka adalah jalan yang terbaik, dan pola
hidup mereka adalah pola hidup yang paling tersucikan. Mereka telah membersihkan hati
mereka dari berbagai hal selain Allah dan menjadikannya sebagai saluran tempat
mengalirnya sungai-sungai yang membawa ilmu-ilmu dari Allah.” kata Imam
Al-Ghazali. Seorang sufi adalah mereka yang mampu membersihkan hatinya dari
keterikatan selain kepada-Nya.
Ketidakterikatan
kepada apapun selain Allah SWT adalah proses batin dan perilaku yang harus
dilatih bersama keterlibatan kita di dalam urusan sehari-hari yang bersifat
duniawi. Zuhud harus dimaknai sebagai ikhtiar batin untuk melepaskan
diri dari keterikatan selain kepada-Nya tanpa meninggalkan urusan duniawi. Mengapa?
karena justru di tengah-tengah kenyataan duniawi posisi manusia sebagai Hamba
dan fungsinya sebagai Khalifah harus diwujudkan.
Banyak
contoh sufi atau ahli tasawuf yang telah zuhud namun juga sukses dalam
ukuran duniawi. Kita lihat saja Imam Al-Junaid adalah adalah pengusaha botol
yang sukses, Al-Hallaj sukses sebagai pengusaha tenun, Umar Ibn Abd Aziz adalah
seorang sufi yang sukses sebagai pemimpin negara, Abu Sa’id Al Kharraj
sukses sebagai pengusaha konveksi, Abu Hasan al-Syadzily sukses sebagai petani,
dan Fariduddin al-Atthar sukses sebagai pengusaha parfum. Mereka adalah sufi
yang pada maqomnya tidak lagi terikat dengan urusan duniawi tanpa meninggalkan
urusan duniawi.
Urusan duniawi yang mendasar bagi manusia adalah seperti
mencari nafkah (pekerjaan), kemudian berbuntut pada urusan lain seperti
politik. Dari urusan-urusan itu kita lantas bersinggungan dengan soal-soal
ekonomi, politik-kekuasaan, hukum, persoalan sosial dan budaya. Dalam Tasawuf
urusan-urusan tersebut tidak harus ditinggalkan untuk mencapai zuhud, justru
kita mesti menekuni kenyataan duniawi secara total sementara hati/batin kita
dilatih untuk tidak terikat dengan urusan-urusan itu. Di situlah zuhud
kita maknai, yakni zuhud di dalam batin sementara aktivitas sehari-hari
kita tetap diarahkan untuk mendarmabaktikan segenap potensi manusia bagi
terwujudnya masyarakat yang baik
4.
Bidang
Sosial Politik
Berbeda
dengan golongan Syi’ah yang memiliki sebuah konsep negara dan mewajibkan
berdirinya negara (imamah), Pandangan Syi’ah tersebut juga
berbeda dengan golongan Khawarij yang membolehkan komunitas berdiri
tanpa imamah apabila dia telah mampu mengatur dirinya sendiri. Ahlussunnah
wal-jama’ah dan golongan sunni umumnya memandang negara sebagai kewajiban
fakultatif (fardhu kifayah). Bagi ahlussunnah wal jama’ah, negara
merupakan alat untuk mengayomi kehidupan manusia untuk menciptakan dan menjaga
kemashlahatan bersama (mashlahah musytarakah).
Ahlussunnah
wal-Jama’ah tidak memiliki konsep bentuk negara yang baku. Sebuah negara boleh
berdiri atas dasar teokrasi, aristokrasi (kerajaan) atau
negara-modern/demokrasi, asal mampu memenuhi syarat-syarat atau kriteria yang
harus dipenuhi oleh sebuah negara. Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka
gugurlah otoritas (wewenang) pemimpin negara tersebut. Syarat-syarat itu adalah:
a. Prinsip Syura (musyawarah)
Negara harus
mengedepankan musyawarah dalam mengambil segala keputusan dan setiap keputusan,
kebijakan dan peraturan. Salah satu ayat yang menegaskan musyawarah adalah (QS
Al-Syura, 42: 36-39)
b. Prinsip Al-‘Adl (Keadilan)
Keadilan
adalah salah satu Perintah yang paling banyak ditemukan dalam Al-Qur’an. Prinsip ini
tidak boleh dilanggar oleh sebuah pemerintahan, apapun bentuk pemerintahan itu.salah satu ayat
dalam Al-Qur an terdapat pada QS An-Nisa, 4: 58
c. Prinsip Al-Hurriyyah (kebebasan)
Negara wajib
menciptakan dan menjaga kebebasan bagi warganya. Kebebasan tersebut wajib hukumnya
karena merupakan kodrat asasi setiap manusia. Prinsip kebebasan manusia dalam
Syari’ah dikenal dengan Al-Ushulul-Khams (prinsip yang lima) yang identik
dengan konsep Hak Azazi Manusia yang lebih dikenal dalam dunia modern bahkan
mungkin di kalangan ahlussunnah wal-jama’ah. Lima pokok atau prinsip ini menjadi
ukuran baku bagi legitimasi sebuah kepemerintahan sekaligus menjadi acuan bagi
setiap orang yang menjadi pemimpin di kelak kemudian hari. Lima pokok atau prinsip tersebut
yaitu:
1.
Hifzhu al-Nafs (menjaga jiwa); adalah kewajiban
setiap kepemimpinan (negara) untuk menjamin kehidupan setiap warga negara;
bahwa setiap warga negara berhak dan bebas untuk hidup dan berkembang dalam
wilayahnya.
2. Hifzhu al-Din (menjaga agama); adalah kewajiban setiap kepemimpinan
untuk menjamin kebebasan setiap orang memeluk, meyakini dan menjalankan Agama
dan Kepercayaannya. Negara tidak berhak memaksakan atau
melarang sebuah agama atau kepercayaan kepada warga negara.
3. Hifzhu al-Mal (menjaga harta benda); adalah kewajiban setiap kepemimpinan
untuk menjamin keamanan harta benda yang dimiliki oleh warga negaranya. Negara
wajib memberikan jaminan keamanan dan menjamin rakyatnya hidup sesuai dengan
martabat rakyat sebagai manusia.
4. Hifzhual-Nasl; bahwa negara wajib
memberikan jaminan terhadap asal-usul, identitas, garis keturunan setiap warga
negara. Negara harus menjaga kekayaan budaya (etnis), tidak boleh mangunggulkan
dan memprioritaskan sebuah etnis tertentu. Hifzhu al-Nasl berarti negara
harus memperlakukan sama setiap etnis yang hidup di wilayah negaranya.
5. Hifzh al-‘Irdh; jaminan terhadap harga diri, kehormatan,
profesi, pekerjaan ataupun kedudukan setiap warga negara. Negara tidak boleh
merendahkan warga negaranya karena profesi dan pekerjaannya. Negara justru
harus menjunjung tinggi dan memberikan tempat yang layak bagi setiap warga
negara.
d. Prinsip Al-Musawah
(KesetaraanDerajat)
Bahwa
manusia diciptakan sama oleh Allah SWT. Antara satu manusia dengan mausia lain,
bangsa dengan bangsa yang lain tidak ada pembeda yang menjadikan satu manusia
atau bangsa lebih tinggi dari yang lain. Manusia diciptakan berbeda-beda adalah
untuk mengenal antara satu dengan yang lain. Sehingga tidak dibenarkan satu
manusia dan sebuah bangsa menindas manusia dan bangsa yang lain. Hai ini
termaktub dalan QS. Al-Hujuraat, 49: 13
Perbedaan
bukanlah semata-mata fakta sosiologis, yakni fakta yang timbul akibat dari
relasi dan proses sosial. Perbedaan merupakan keniscayaan teologis yang
Dikehendaki oleh Allah SWT. Demikian disebutkan dalam surat Al-Ma’idah; 5: 48
Dalam sebuah
negara kedudukan warga negara adalah sama. Orang-orang yang menjabat di tubuh
pemerintahan memiliki kewajiban yang sama sebagai warga negara. Mereka memiliki
jabatan semata-mata adalah untuk mengayomi, melayani dan menjamin kemashlahatan
bersama, dan tidak ada privilege (keistimewaan) khususnya di mata
hukum.Negara justru harus mampu mewujudkan kesetaraan derajat antar manusia di
dalam wilayahnya, yang biasanya terlanggar oleh perbedaan status sosial, kelas
ekonomi dan jabatan politik.
Dengan
prinsip-prinsip di atas, maka tidak ada doktrin Negara Islam, Formalisasi
Syari’at Islam dan Khilafah Islamiyah bagi Ahlussunnah wal-Jama’ah. Sebagaimana
pun tidak didapati perintah dalam Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas untuk
mendirikan salah satu di antara ketiganya. Islam hanya diharuskan untuk
menjamin agar sebuah pemerintahan – baik negara maupun kerajaan – harus mampu
memenuhi 4 (empat) kriteria di atas.
D.
Karakteristik
Ahlusssunnah Wal Jamaah Dalam Mensikapi Perkembangan Zaman
Ada lima istilah utama yang diambil dari Al Qur’an dan
Hadits dalam menggambarkan karakteristik Ahlus sunnah wal jama’ah
sebagai landasan dalam bermasyarakat atau sering disebut dengan konsep Mabadiu
Khaira Ummat yakni sebuah gerakan untuk mengembangkan identitas dan
karakteristik anggota Nahdlatul ‘Ulama dengan pengaturan nilai-nilai mulia dari
konsep keagamaan Nahdlatul ‘Ulama, antara lain :
1.
At-Tawassuth
Tawassuth berarti pertengahan,
maksudnya menempatkan diri antara dua kutub dalam berbagai masalah dan keadaan
untuk mencapai kebenaran serta menghindari keterlanjuran ke kiri atau ke kanan
secara berlebihan
2.
Al I’tidal
I’tidal berarti tegak lurus, tidak
condong ke kanan dan tidak condong ke kiri.I’tidal juga berarti berlaku adil,
tidak berpihak kecuali pada yang benar dan yang harus dibela.
3.
At-Tasamuh
Tasamuih berarti sikap toleran pada pihak lain, lapang dada,
mengerti dan menghargai sikap pendirian dan kepentingan pihak lain tanpa
mengorbankan pendirian dan harga diri, bersedia berbeda pendapat, baik dalam
masalah keagamaan maupun masalah kebangsaan, kemasyarakatan, dan kebudayaan.
4.
At-Tawazun
Tawazun berarti keseimbangan, tidak berat sebelah, tidak
kelebihan sesuatu unsur atau kekurangan unsur lain.
5.
Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Amar ma’ruf nahi munkar artinya menyeru
dan mendorong berbuat baik yang bermanfaat bagi kehidupan duniawi maupun
ukhrawi, serta mencegah dan menghilangkan segala hal yang dapat merugikan,
merusak, merendahkan dan atau menjerumuskan nilai-nilai moral keagamaan dan
kemanusiaan.
E.
Eksistensi
Ahlussunnah Wal Jamaah di era Globalisasi
Dalam menapaki
kehidupan modern kader Ahlusssunnah Wal Jamaah Nahdliyah di masa depan harus selalu tanggap mampu
menguasai tiga bidang di atas sekaligus. Ahli
di bidang aqîdah, fiqh, dan tasawuf yang membawa perubahan dan kemajuan
besar bagi peradaban dunia. Tidak hanya itu, kader Ahlusssunnah Wal Jamaah
juga harus menguasai tafsir, hadis, dan pemikiran para pemikir Islam dalam
semua bidang, karena Ahlusssunnah Wal Jamaah
adalah golongan yang mengikuti sunnah Nabi, khulafâ’ al-râsyidîn, dan
golongan mayoritas umat (al-sawâdu al-a’dham). Mengikuti jejak pemikiran
dan perjuangan KH. Abdul Wahid Hasyim, KH. Abdurrahman Wahid, KH. Ahmad Shidiq,
KH. Ali Ma’shum, KH. MA. Sahal Mahfudh, KH. Musthofa Bisyri, dan KH. Sa’id Aqil
Siradj adalah langkah terbaik untuk mengembangkan Ahlusssunnah Wal Jamaah
secara dinamis dan produktif. Semangat membaca dari berbagai sumber
pengetahuan, baik Barat maupun Timur, mengapresiasi pemikiran dan budaya lokal,
menulis buku dan kitab, berjuang mencerdaskan umat dan menyejahterakan rakyat,
dan aktif melakukan kaderisasi adalah kunci sukses dalam mengembangkan Ahlusssunnah Wal Jamaah. Kader Ahlusssunnah Wal Jamaah juga harus
mampu menepis tuduhan sepihak yang dilontarkan kelompok lain yang mengatakan
bahwa banyak praktek budaya yang dilakukan warga NU termasuk bid’ah tersesat
yang ancamannya adalah masuk neraka.
Agar semakin shalih likulli zamân wa makân, aplikabel di
setiap masa dan ruang sekaligus menjadi sentral gerakan dalam menjaga
stabilitas sosial keagamaan yang rahmatan lil ‘alamin. Aswaja harus diposisikan sebagai metode berpikir
dan bertindak yang berarti menjadi alat (tools) untuk mencari,
menemukan, dan menyelesaikan berbagai permasalahan sosial. Sebagai
alat, maka sikap proaktif untuk mencari penyelesaian menjadi
lebih bersemangat guna melahirkan pikiran-pikiran yang kreatif
dan orisinil. Dalam hal ini pendapat para ulama terdahulu
tetap ditempatkan dalam kerangka lintas-komparatif, namun tidak sampai
harus menjadi belenggu pemikiran yang dapat mematikan atau membatasi
kreativitas. Perubahan
kultur dan pola pikir ini juga dapat dilihat dalam prosedur perumusan hukum dan
ajaran Ahlusunnah wal Jama’ah dalam tradisi jam’iyah Nahdlatul ‘Ulama yang
menggunakan pola Maudhu’iyah (tematik) atau terapan (Qonuniyah)
yang berbentuk tashawur lintas disiplin keilmuan empiric dan Waqi’iyah
(kasuistik) dengan pendekatan tathbiq al-syari’ah dan metode takhayyur
(eklektif). Menurut Badrun (2000), terdapat lima
ciri yang perlu diperhatikan dalam memosisikan aswaja sebagai manhaj
al-fikr atau manhaj al-amal:
1.
Selalu
mengupayakan untuk interpretasi ulang dalam mengkaji teks-teks fiqih untuk
mencari konteksnya yang baru;
2.
Makna
bermadzhab diubah dari bermadzhab secara tekstual (madzhab qauly)
menjadi bermadzhab secara metodologis (madzhab manhajy);
3.
Melakukan
verifikasi mendasar terhadap mana ajaran yang pokok (ushul) dan mana
yang cabang (furu’);
4.
Fiqih
dihadirkan sebagai etika sosial, bukan sebagai hukum positif;
5.
Melakukan
pemahaman metodologi pemikiran filosofis terutama dalam masalah-masalah sosial
dan budaya.
Menurut KH. Said Agil Siradj, Ahlussunnah
Waljamaah adalah orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang
mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar-dasar moderasi,
menjaga keseimbangan, dan toleransi. Baginya Ahlussunnah Waljamaah harus
diletakkan secara proporsional, yakni Ahlussunnah Waljamaah bukan
sebagai mazhab, melainkan sebuah manhaj
al-fikr (pendekatan berpikir tertentu) yang
digariskan oleh sahabat dan para muridnya, yaitu generasi tabi’in yang memiliki
intelektualitas tinggi dan relatif netral dalam menyikapi situasi politik
ketika itu. Namun harus diakui bahwa kelahiran Ahlussunnah Waljamaah
sebagai manhaj al-fikr tidak terlepas dari pengaruh tuntutan
realitas sosio-kultural dan sosio-politik yang melingkupinya.
Dalam merespon
berbagai persoalan baik yang berkenaan dengan persoalan keagamaan maupun
kemasyarakatan, Nahdlatul ‘Ulama memiliki manhaj Ahlusunnah wal
Jama’ah yang dijadikan sebagai landasan berpikir Nahdlatul ‘Ulama (Fikrah
Nahdliyah). Adapun ciri-ciri dari Fikrah Nahdliyah antara lain :
1. Fikrah Tawassuthiyah (polapikir moderat), artinya Nahdlatul ‘Ulama senantiasa bersikap tawazun (seimbang) dan I’tidal (moderat) dalam menyikapi berbagai persoalan.2. Fikrah Tasamuhiyah (polapikir toleran), artinya Nahdlatul ‘Ulama dapat hidup berdampingan secara damai dengan berbagai pihak lain walaupun aqidah, cara piker, dan budayanya berbeda.3. Fikrah Ishlahiyyah (pola pikir reformatif), artinya Nahdlatul ‘Ulama selalu mengupayakan perbaikan menuju kea rah yang lebih baik (al ishlah ila ma huwa al ashlah).4. Fikrah Tathawwuriyah (polapikir dinamis), artinya Nahdlatul ‘Ulama senantiasa melakukan kontekstualisasi dalam merespon berbagai persoalan.5. Fikrah Manhajiyah (polapikir metodologis), artinya Nahdlatul ‘Ulama senantiasa menggunakan kerangka berpikir yang mengacu kepada manhaj yang telah ditetapkan oleh Nahdlatul ‘Ulama.
Konsep Fikrah Nahdliyah itulah yang menyebabkan
Nahdlatul ‘Ulama nampak sebagai organisasi social keagamaan yang sangat
moderat, toleran, dinamis, progressif dan modern. Secara konseptual sebenarnya
pola pikir Nahdlatul ‘Ulama tidak tradisionalis, ortodok,
ataupun konservativ, hal ini bisa kita lihat pada perkembangan intelektual
di lingkungan Nahdlatul ‘Ulama khususnya kaum muda Nahdlatul ‘Ulama yang
menunjukkan kecenderungan radikal dalam berpikir dan moderat dalam
bertindak sebagaimana laporan penelitian Mitsuo Nakamura saat mengikuti
Muktamar Nahdlatul ‘Ulama Ke-26 di Semarang (1979), demikian pula Martin Van
Bruinessen (1994).
Jika aswaja
dipahami dengan benar dan menjadi acuan bertindak dalam kehidupan maka
akan mampu memfilter pengaruh globalisasi dan masuknya budaya luar yang
dapat memicu munculnya sikap adopsi budaya yang negatif seperti tidak toleran
terhadap perbedaan, kekerasan, dan berbagai macam bentuk sikap negatif lainnya
yang kesemuanya dapat menodai karakter kelompok Islama aswaja yang
dikenal memiliki sikap kearifan, moderat, menghargai budaya lokal,
menghargai perbedaan dan anti kekerasan.
0 komentar:
Posting Komentar