Oleh Maulana Syekh Ali Jum'ah
Ahlussunnah
Wal Jamā'ah (Aswaja) membedakan antara teks wahyu (Al-Qur'an dan
Sunnah), penafsiran dan penerapannya, dalam upaya melakukan tahqīq manāth (memastikan kecocokan sebab hukum pada kejadian) dan takhrīj manāth (memahami sebab hukum). Metodologi inilah yang melahirkan Aswaja.
Aswaja adalah mayoritas umat Islam sepanjang masa dan zaman, sehingga golongan lain menyebut mereka dengan sebutan: "Al-'Āmmah (orang-orang umum) atau Al-Jumhūr", karena lebih dari 90 persen umat Islam adalah Aswaja.
Mereka mentransmisikan teks wahyu dengan sangat baik, mereka menafsirkannya, menjabarkan yang mujmal (global),
kemudian memanifestasikannya dalam kehidupan dunia ini, sehingga mereka
memakmurkan bumi dan semua yang berada di atasnya.
Aswaja adalah golongan yang menjadikan hadis Jibrīl yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahīh-nya,
sebagai dalil pembagian pilar agama menjadi tiga: Iman, Islam dan
Ihsān, untuk kemudian membagikan ilmu kepada tiga ilmu utama, yaitu:
akidah, fiqih dan suluk. Setiap imam dari para imam Aswaja telah
melaksanakan tugas sesuai bakat yang Allah berikan.
Mereka bukan
hanya memahami teks wahyu saja, tapi mereka juga menekankan pentingnya
memahami realitas kehidupan. Al-Qarāfī dalam kitab Tamyīz Al-Ahkām menjelaskan:
Kita harus memahami realitas kehidupan kita. Karena jika kita mengambil
hukum yang ada di dalam kitab-kitab dan serta-merta menerapkannya
kepada realitas apapun, tanpa kita pastikan kesesuaian antara sebab
hukum dan realitas kejadian, maka kita telah menyesatkan manusia.
Disamping
memahami teks wahyu dan memahami realitas, Aswaja juga menambahkan
unsur penting ketiga, yaitu tata cara memanifestasikan atau menerapkan
teks wahyu yang absolut kepada realitas kejadian yang bersifat relatif.
Semua ini ditulis dengan jelas oleh mereka, dan ini juga yang dijalankan
hingga saat ini. Segala puji hanya bagi Allah yang karena anugerah-Nya
semua hal baik menjadi sempurna.
Inilah yang tidak dimiliki oleh
kelompok-kelompak radikal. Mereka tidak memahami teks wahyu. Mereka
meyakini bahwa semua yang terlintas di benak mereka adalah kebenaran
yang wajib mereka ikuti dengan patuh. Mereka tidak memahami realitas
kehidupan. Mereka juga tidak memiliki metode dalam menerapkan teks wahyu
pada tataran realitas. Karena itu mereka sesat dan menyesatkan, seperti
yang imam Al-Qarāfī jelaskan.
Aswaja tidak mengafirkan
siapapun, kecuali orang yang mengakui bahwa ia telah keluar dari Islam,
juga orang yang keluar dari barisan umat Islam. Aswaja tidak pernah
mengafirkan orang yang salat menghadap kiblat. Aswaja tidak pernah
menggiring manusia untuk mencari kekuasaan, menumpahkan darah, dan tidak
pula mengikuti syahwat birahi (yang haram).
Aswaja menerima
perbedaan dan menjelaskan dalil-dalil setiap permasalahan, serta
menerima kemajemukan dan keragaman dalam akidah, atau fiqih, atau
tasawuf:
(mengutip 3 bait dari Al-Burdah):
"Para nabi semua meminta dari dirinya.
Seciduk lautan kemuliaannya dan setitik hujan ilmunya.
Para nabi sama berdiri di puncak mereka.
Mengharap setitik ilmu atau seonggok hikmahnya.
Dialah Rasul yang sempurna batin dan lahirnya.
Terpilih sebagai kekasih Allah Pencipta manusia."
Aswaja berada di jalan cahaya terang yang malamnya seterang siangnya, orang yang keluar dari jalan itu pasti celaka.
Aswaja
menyerukan pada kebajikan, dan melarang kemungkaran. Mereka juga
waspada dalam menjalankan agama, mereka tidak pernah menjadikan
kekerasan sebagai jalan.
Diriwayatkan dari sahabat Abu Musa
Al-Asy'arī, bahwa Rasulullah SAW. bersabda: "...hingga seseorang
membunuh tetangganya, saudaranya, pamannya dan sepupunya.", Para sahabat
tercengang: "Subhānallah, apakah saat itu mereka punya akal yang
waras?" Rasulullah menjawab: "Tidak. Allah telah mencabut akal
orang-orang yang hidup pada masa itu, sehingga mereka merasa benar,
padahal mereka tidaklah dalam kebenaran."
Rasulullah juga
bersabda: "Barangsiapa yang keluar dari barisan umatku, menikam
(membunuh) orang saleh dan orang jahatnya, ia tidak peduli pada orang
mukmin juga tidak menghormati orang yang melakukan perjanjian damai
(ahlu dzimmah), sungguh dia bukanlah bagian dari saya, dan saya bukanlah
bagian dari dia."
Aswaja memahami syariat dari awalnya. Mereka memahami "Bismillāhirrahmānirrahīm"
(Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang).
Allah Menyebutkan dua nama-Nya, yaitu Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Allah tidak mengatakan: "Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Membalas
dan Maha Kuat". Justru Allah menyampaikan pesan keindahan dalam
keindahan (melalui Ar-Rahmān dan Ar-Rahīm). Allah tidak mengenalkan diri-Nya dengan keagungan-Nya SWT.
Kami belajar "Bismillāhirrahmānirrahīm"
di Al-Azhar. Para ulama Al-Azhar saat menafsirkannya menjelaskan dengan
banyak ilmu. Mereka menjelaskan "Bismillāhirrahmānirrahīm" dari banyak
perspektif ilmu: fiqih, mantiq (logika), akidah, suluk dan balaghah.
Mereka sabar duduk menjelaskannya dengan begitu lama dan panjang, hingga
kita menyangka bahwa penjelasan mereka tidak ada ujungnya.
Kemudian,
setelah musibah (teror golongan radikal) ini menimpa, kita baru
memahami bahwa metode mengajar ulama Al-Azhar itu merupakan kebenaran.
Mereka membangun piramida (ilmu kita) sesuai cara yang benar: membangun
pondasi piramida dari bawah, hingga sampai pada ujung lancipnya yang
berada di atas. Sementara kelompok radikal membalik cara membangun
piramida (ilmu mereka, ujungnya di bawah, dan pondasinya di atas) hingga
piramida itu runtuh mengenai kepala mereka sendiri.
Aswaja
tidak memungkiri peran akal, bahkan mereka mampu mensinergikan akal dan
teks wahyu, serta mampu hidup damai bersama golongan lain. Aswaja tidak
pernah membuat opini umum palsu (memprovokasi). Mereka tidak pernah
bertabrakan (melakukan kekerasan) dengan siapapun di jagad raya. Aswaja
justru membuka hati dan jiwa mereka untuk semua orang, hingga mereka
berbondong-bondong masuk Islam.
Para ulama Aswaja telah
melaksanakan apa yang harus mereka lakukan pada zaman mereka. Karena itu
kita juga harus melaksanakan kewajiban kita di zaman ini dengan baik.
Kita wajib memahami teks wahyu, memahami realitas dan mempelajari metode
penerapan teks wahyu pada realitas.
Aswaja memperhatikan dengan
cermat 4 faktor perubahan, yaitu: waktu, tempat, individu dan keadaan.
Al-Qarāfī menulis kitab luar biasa yang bernama Al-Furūq untuk membangun
naluri ilmiah (malakah) hingga kita mampu melihat perbedaan detail.
Awal
yang benar akan mengantar pada akhir yang benar juga. Karena itu,
barangsiapa yang mempelajari alfabet ilmu (pondasi awal ilmu) dengan
salah, maka ia akan membaca dengan salah juga, lalu memahami dengan
salah, kemudian menerapkan dengan salah, hingga ia menghalangi manusia
dari jalan Allah tanpa ia sadari. Inilah yang terjadi (dan yang
membedakan) antara orang yang belajar ilmu bermanfaat, terutama Al-Azhar
sebagai pemimpin lembaga-lembaga keilmuan, dan antara orang yang
mengikuti hawa nafsunya, merusak dunia dan menjelekkan citra Islam serta
kaum muslimin.
Pesan saya kepada umat Islam dan dunia luar:
Ketahuilah bahwa Al-Azhar adalah pembina Aswaja. Sungguh oknum-oknum
(yang membencinya) telah menyebar kabar keji, dusta dan palsu bahwa
Al-Azhar telah mengalami penetrasi (dan lumpuh). Mereka ingin membuat
umat manusia meragukan Al-Azhar sebagai otoritas yang terpercaya, hingga
mereka tidak mau kembali lagi kepada Al-Azhar sebagai tempat rujukan
dan perlindungan.
Al-Azhar tetap berdiri dengan pertolongan Allah
SWT, dibawah pimpinan grand syaikhnya. Setiap hari Al-Azhar berusaha
untuk mencapai tujuan-tujuan mulianya, juga membuka mata seluruh dunia,
menyelamatkan mereka dari musibah (radikalisme) yang menimpa.
sumber : http://www.nu.or.id/post/read/70944/siapakah-ahlussunnah-wal-jamaah
Al-Azhar
tidak disusupi dan tak akan lumpuh selamanya hingga hari akhir, karena
Allah Yang membangunnya dan melindunginya. Allah juga Yang mentakdirkan
orang-orang pilihan-Nya untuk mejalankan manhaj Aswaja di Al-Azhar,
meski orang fasik tidak menyukainya.
Jumat, 17 November 2017
My Curriculum Vitae
Biodata Diri Nama Bahaudin Ahmad ...
0 komentar:
Posting Komentar