Sebagai organsasi keagamaan, Nahdhatul Ulama (NU) mempunyai
tanggungjawab moral untuk berpartisipasi memberikan solusi atas
persoalan-persoalan sosial keagamaan yang tengah dihadapi oleh
masyarakat khususnya warga nahdhiyyin. Guna keperluan itulah, NU
membentuk lembaga yang disebut dengan
Lajnah Bahtsul Masail
atau yang disingkat LBM. Yakni, suatu lembaga yang memiliki bertugas
menjawab segala permasalahan sosial keagamaan yang dihadapi masyarakat
(Zahro, 2004). Persoalan-persoalan yang dimaksud dibagi ke dalam tiga
kelompok, antara lain
maudhu’iyyah (tematik),
waqi’iyah (aktual), dan
qonuniyah (hukum/perundangan) untuk digali aspek kepastian hukumnya
.
Secara organisatoris, lembaga ini bertingkat mulai dari tingkat
ranting (desa) sampai tingkat pusat (di Jakarta). Namun, karena
keterbatasan SDM, lembaga ini biasanya baru muncul pada tingkat
kepengurusan cabang sampai ke level pusat, kecuali pada daerah-daerah
yang memang keberadaan NU sangat kuat, maka lembaga ini terbentuk pada
tingkat Majlis Wakil Cabang (MWC) bahkan ranting.
Secara hirarkis, pengkajian persoalan dalam
Bahtsul Masail berlangsung
secara bertahap. Persoalan yang belum selesai dikaji pada level Majelis
Wakil Cabang misalnya, akan diteruskan kepada Cabang. Jika pada level
ini belum juga terselesaikan, maka masalah tersebut dibawa ke tingkat
wilayah, terus sampai pusat (PBNU) dalam forum muktamar. Dengan
demikian, secara teoritis bisa dikatakan bahwa
Bahtsul Masail yang
diselenggarakan oleh PBNU merupakan forum yang mempunyai otoritas
tertinggi dan memiliki daya mengiikat lebih kuat bagi warga NU dalam
memutuskan masalah keagamaan (Zahro, 2004). Namun, dalam aplikasinya di
lapangan, hirarki semacam ini tidak selalu diikuti oleh warga
nahdhiyyin.
Sejarah Bahtsul Masail
Pada awalnya,
Bahtsul Masail yang ada di NU tidak
dilembagakan layaknya sebuah organisasi yang mempunyai struktur
organisasi dan agenda resmi. Namun untuk menjadikan
Bahtsul Masail menjadi wadah yang lebih dinamis, maka pada Muktamar NU ke-18 di Yogyakarta tahun 1989, komisi I yang membidangi
Bahtsul Masail merekomendasikan kepada PBNU untuk mendirikan
“Lajnah Bahtsul Masail Diniyah”
(lembaga pengkajian masalah-masalah agama) sebagai lembaga permanen
yang khusus menangani persoalan keagamaan. Hal ini didukung oleh
halaqah yang diadakan di Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang pada tanggal 26-28 Januari 1990 yang merekomendasikan dibentuknya
“Lajnah Bahtsul Masail Diniyah” sebagai wadah berkumpulnya ulama dan intelekual NU untuk melakukan ijihad kolektif (Zahro, 2004).
Bahtsul Masail di kalangan NU diyakini merupakan tradisi
intelektual yang berkembang sejak lama, bahkan ditengarai forum ini
lahir sebelum NU dibentuk. Martin van Bruinessen (1996) berpendapat
bahwa tradisi
Bahtsul Masail yang berkembang di kalangan NU bukanlah murni dari gagasan para kiai-kiai NU. Jauh sebelum
Bahtsul Masail di lembagakan oleh kalangan NU, tradisi seperti itu telah ada di kalangan arab (Makkah) yang disebut dengan tradisi
halaqah. Menurut Bruinessen, ide
Bahtsul Masail tak
lain hanyalah tradisi yang diimpor dari Tanah Suci Makkah. Para santri
Indonesia yang belajar di Tanah Suci, sepulang dari sana kemudian
mengembangkan Islam melalui lembaga pendidikan berupa pesantren
sekaligus mengadopsi sistem
halaqah untuk mengkaji
persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat. Apa yang disampaikan
oleh Bruinessen, khususnya berkaitan dengan adopsi forum ilmiah yang
dilakukan oleh para santri Indonesia dapat difahami, mengingat pada
akhir abad ke-19 ketergantungan umat Islam Indonesia terhadap fatwa yang
dikeluarkan oleh ulama Timur Tengah, terutama dari ulama Kairo dan
Mekkah masih besar. Selain dari aspek genealogi keilmuan ulama’-ulama’
tanah air tak dapat dipisahkan dari Timur Tengah.
Di pesantren, forum
Bahtsul Masail yang terinspirasi model
halaqah
dilaksanakan dan dikembangakan oleh kalangan pesantren. Sehingga dapat
dikatakan bahwa jauh sebelum NU berdiri, pesantren-pesantren beserta
kiainya telah mempraktekkan model
halaqah untuk menetapkan hukum berdasar pada kitab-kitab kuning
(turats)
yang sehari-hari dipelajari. Forum ini terus berkembang dan
dilaksanakan sampai pada akhirnya dilembagakan menjadi LBM NU dengan
perangkat metodologi dan referensi-referensi
(maraji’) serta model
halaqah yang digunakan pararel dengan yang ada di pondok pesantren.
Setelah terlembagakannya
Lajnah Bahtsul Masail (LBM),
barulah tugas dan fungsinya dirumuskan dalam ART NU. Dinamika dalam LBM
terus bergulir yang ditandai adanya perubahan dan penigkatan tugas-tugas
yang sebagaimana tertuang dalam ART NU dari satu periode kepengurusan
ke periode berikutnya. Sebagai contoh dalam ART NU tahun 1999 pasal 16
dinyatakan “Lajnah Bahtsul Masail bertugas menghimpun, membahas, dan
memecahkan masalah-masalah yang
mawquf dan
waqi’iyyah
yang harus segera mendapat kepastian hukum”. Sementara itu dalam ART NU
tahun 2004 pasal 16 dinyatakan “Lembaga Bahtsul Masail disingkat LBM,
bertugas membahas dan memecahkan masalah-masalah yang
mawdu’iyyah (tematik) dan
waqi’iyyah
(aktual) yang memerlukan kepastian hukum”. Dilihat dari redaksi ART NU
tersebut, terlihat bahwa tugas LBM pada tahun 2004 mengalami perluasan
mandat dan pergeseran orientasi bila dibanding LBM pada tahun 1999,
yakni dari mengurusi persoalan-persoalan yang
mawquf kepada persoalan
mawdu’iyyah.
Pola kajian berpindah dari sekedar menuntaskan tanggungan penyelesaian
masalah-masalah yang belum disepakati hukumnya kepada mengkaji
persoalan-persoalan yang memang riil terjadi di masyarakat. Secara
filosofis dapat dijelaskan bahwa membahas persoalan-persoalan
mawdu’iyyah itu lebih memberikan manfaat lebih besar ketimbang membahas persoalanpersoalan
mawquf. Sebab persoalan yang
mawquf
bisa jadi bukanlah persoalan yang mempunyai signifikansi untuk
kemaslahatan umat. Namun demikian, bukan berarti semua persoalan yang
mawquf
tidak perlu dibahas, kalau saja ada di antara sekian persoalan itu
memang mempunyai signifikansi bagi kemaslahatan umat, maka tidak ada
salahnya untuk dibahas.
Proses Pelaksanaan Bahtsul Masail
Bahtsul Masail di kalangan NU dilakukan secara berkala dalam
kurun waktu tertentu, baik di tingkat Cabang (PC), Wilayah (PW), maupun
Pusat (PB). Berikut ini gambaran proses kegiatan
Bahtsul Masail yang ditemukan di lapangan.
Mula-mula kegiatan
Bahtsul Masail dibuka oleh seorang pimpinan
Bahtsul Masail yang
berposisi sekaligus sebagai moderator dengan mengucap salam dan
mengajak peserta membaca surat al-Fatihah bersama-sama. Selanjutnya
moderator membacakan “deskripsi” masalah yang akan dibahas dalam
Bahtsul Masail. Deskripsi masalah yang dimaksud dalam
Bahtsul Masail adalah
uraian mengenai persoalan yang akan dibahas yang meliputi; (1) uraian
tentang gambaran suatu persoalan yang terjadi di tengah-tengah
masyarakat dan (2) pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari persoalan
tersebut yang berhubungan dengan status hukumnya dari kacamata fikih.
Adapun masalah-masalah yang dibahas biasanya berasal dari usulan para
peserta (atau dikenal dengan sebutan
sa’il) baik perseorangan
maupun perwakilan institusi yang diajukan beberapa waktu sebelumnya
kepada pihak panitia atau terkadang masalah tersebut sengaja dipilih
oleh pihak panitia.
Dalam rangka menunjang berjalannya proses
Bahtsul Masail,
untuk kasus-kasus tertentu, panitia sengaja mendatangkan pihak-pihak di
luar NU sebagai narasumber. Kehadiran mereka dimaksudkan untuk membantu
menjelaskan duduk perkara suatu masalah yang sedang dikaji. Narasumber
yang didatangkan adalah mereka yang diyakini mempunyai kompetensi di
bidangnya. Misalnya, kalau persoalan yang dibahas seputar ekonomi, maka
nara sumber yang didatangkan adalah ahli ekonomi atau pelaku ekonomi.
Demikian juga apabila persoalan itu seputar kesehatan yang didatangkan
adalah dokter. Setelah moderator membacakan deskripsi masalah, para
peserta diberi kesempatan untuk mengutarakan pendapatnya masing-masing.
Tahapan ini dikenal dengan sebutan mengutarakan
ta’bir: pemberian argumentasi/pengibaratan/pendapat atas persoalan yang sedang dibahas.
Dalam kasus ketika
Bahtsul Masail dihadiri narasumber dari
luar NU, moderator biasanya memberikan kesempatan terlebih dahulu kepada
narasumber untuk mejelaskan suatu persoalan sesuai dengan latar
belakang mereka (baca: kompetensi narasumber). Setelah itu, moderator
memberikan kesempatan kepada para peserta untuk menyampaikan
pendapatnya. Apabila para peserta merasa belum dapat memahami secara
baik apa yang diutarakan narasumber, moderator kembali memberikan
kesempatan kepada mereka untuk menanyakan hal-hal yang dirasa perlu
kepada narasumber.
Selanjutnya, apabila penjelasan dari nara sumber seputar persoalan
yang dikaji dirasa cukup, moderator langsung memberi kesempatan kepada
peserta untuk mengemukakan pendapatnya masing-masing. Pengutaraan
argumentasi pun mulai bisa dilihat pada sesi ini, beragam dalil yang
diambilkan dari
ta’bir yang dimuat dalam kitab kuning dan
nash-nash dari al-Qur’an dan hadis silih berganti bersautan terlontar dari mulut peserta. Suatu
ta’bir disanggah dengan
ta’bir yang lain begitu seterusnya sampai moderator merasa perlu mendudukkan atau meluruskan posisi
ta’bir
yang digunakan oleh peserta apabila telah melenceng dari konteks
persoalan yang sedang dibahas. Dalam kondisi yang demikian, keberadaaan
moderator dituntut tidak hanya cukup piawai dalam mengatur lalu lintas
diskusi, akan tetapi lebih dari itu moderator harus mempunyai modal
keilmuan yang cukup tentang bahasa Arab dan substansi masalah yang
dikaji. Jika tidak, moderator akan sulit mengendalikan jalannya
Bahtsul Masail. Sebab fenomena saling menyanggah pendapat peserta lain dalam
Bahtsul Masail ini bisa difahami mengingat bahwa para peserta datang ke dalam forum
Bahtsul Masail tidak
dengan fikiran kosong. Para peserta telah mempersiapkan beragam dalil
(argumentasi) yang dipakai untuk memperkuat pendapat mereka dari
literatur klasik (kitab-kitab kuning), khususnya literatur yang
bersinggungan dengan fikih. Kenyataan ini sangat mungkin mereka lakukan,
karena biasanya deskripsi masalah yang dikaji dalam bahtsul masail
terlebih dahulu telah diinformasikan kepada para peserta beberapa hari
sebelumnya.
Oleh karena itu, para peserta mempunyai waktu mengumpulkan bahan-bahan sebelum mengikuti
Bahtsul Masail. Kegiatan saling menyanggah yang dilakukan peserta
Bahtsul Masail
tingkat frekuensi dan intensitasnya bergantung kepada tingkat kesulitan
persoalan yang dikaji. Artinya, semakin mudah persoalan yang dikaji,
maka frekuensi sanggahan dari masing-masing peserta semakin kecil. Namun
sebaliknya semakin sulit persoalan yang dikaji, maka frekuensinya
semakin tinggi. Yang demikian tak jarang menimbulkan kesan yang kurang
baik, bahwa
Bahtsul Masail tak ubahnya ajang debat kusir antar peserta. Yang jelas dalam setiap
Bahtsul Masail,
peserta harus membekali dengan ilmu logika dan retorika. Argumentasi
yang tidak didukung dengan logika yang sistematis dan retorika yang
mahir, akan mudah dikalahkan peserta yang lain dengan argumen yang lebih
meyakinkan.
Kemudian, apabila perdebatan diantara peserta dianggap cukup, moderator memberikan kesempatan kepada pengarah
(musahhih). Musahhih biasanya terdiri dari para kiai untuk memberikan komentar atas pendapat para peserta. Tim
musahhih pada kegiatan
Bahtsul Masail biasanya diambilkan sesuai dengan panitia penyelenggara. Artinya jika penyelenggaranya adalah NU Cabang, maka
mushahhihnya
diambilkan dari kalangan kiai NU di tingkat Cabang begitu seterusnya
sampai tingkat Pusat. Di lapangan, apa yang disampaikan oleh
musahhih
tidak sepenuhnya dapat diterima oleh peserta, meskipun dari sisi
kapabilitas mereka berada diatas “rata-rata” peserta. Apabila ada pihak
peserta yang kurang sependapat dengan
musahhih, moderator mempersilahkan kepada mereka untuk mengutarakan argumentasi tandingan.
Selanjutnya, moderator mempersilahkan kepada
musahhih
memberikan penjelasan tambahan atas komentar para peserta. Namun
demikian, sepanjang pengamatan kami, meskipun peserta telah mengutarakan
argumentasinya, apa yang mereka sampaikan tidak banyak mempengaruhi
pendapat
musahhih. Sebenarnya kalau pihak
musahhih
benar-benar mampu memposisikan sebagai pengarah dan tidak selalu
memaksakan pendapatnya, maka bahtsul masail di pesantren bisa menjadi
ajang pendewasaan diri yang baik bagi para santri. Sebab perilaku saling
menghargai dan tidak otoriter akan menjadi bekal berharga bagi para
santri di dalam menyikapi berbagai problem keagamaan yang akan dihadapi
kelak sekeluar dari pondok pesantren. Jika peserta merasa penjelasan
musahhih dapat “diterima”, moderator meminta kepada
musahhih
untuk memberi kesimpulan hukum dari persoalan yang dikaji dan
selanjutnya mengakhiri pembahasan tersebut dengan membaca surah al
Fatihah. Bacaan surat ini sekaligus sebagai penanda bahwa kajian atas
suatu persoalan telah selesai. Dan, apa yang disimpulkan oleh
musahhih secara otomatis menjadi keputusan
Bahtsul Masail. Begitu seterusnya mekanisme seperti ini dipakai untuk mengkaji persoalan-persoalan yang lain yang telah diagendakan dalam
Bahtsul Masail. Sekedar diketahui bahwa dalam suatu
Bahtsul Masail, persoalan yang dikaji biasanya lebih dari satu persoalan.
Bagaimana Selanjutnya?
Bahtsul Masail adalah salah satu dari sekian tradisi yang berkembang di pesantren dan NU. Forum
Bahtsul Masail dalam
realitanya , pada satu sisi menjadi kebanggaan warga NU, namun tidak
dipungkiri lembaga ini juga kerap mendapat sorotan miring dari berbagai
kalangan termasuk dari kalangan internal NU. Bagi NU dan masyarakatnya,
penglihatan terhadap sisi negatif
Bahtsul Masail tetap harus diposisikan sebagai bahan masukan buat perbaikan sistem kerja
Bahtsul Masail dan
lembaga yang menaunginya (LBM NU) ke depan. Sebab seringkali dijumpai
bahwa seseorang atau lembaga tidak mampu melihat kekurangan yang ada
dalam diri sendiri. Salah satunya adalah, tak jarang dijumpai para kiai
di pesantren maupun tokoh masyarakat NU tidak mengindahkan hasil
keputusan yang dihasilkan oleh LBM NU bahkan mengambil sikap yang
bersebarangan dengan NU. Sebab, afiliasi kepada kiai adalah lebih kuat
daripada kepada NU, sehingga bagi warga NU yang mempunyai afiliasi
kepada seorang kiai tertentu, akan berkecenderungan memilih pendapat
kiai daripada keputusan LBM NU (Yahya, 2002). Lantas, mengapa
Bahtsul Masail yang
melalui proses panjang dengan menghabiskan biaya yang tidak sedikit
telah tersosialisasikan kepada warga NU yang berada di daerah? Seberapa
besar daya ikat keputusan tersebut dapat mempengaruhi perilaku
keberagamaan warga NU? Pertanyaan seperti ini perlu dikemukakan,
mengingat ditengarai bahwa dalam konteks diseminasi keputusan hasil
bahtsul LBM kepada warga NU di tingkat bawah tidak berjalan seperti yang
diharapkan. Masihkah
Bahtsul Masail perlu untuk terus diselenggarakan?
Wallahu a’lamu.